TUGAS BAHASA INDONESIA #2
PENALARAN, EVIDENSI DAN INFERENSI
1. Penalaran
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan bahwa sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (entesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequense). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Menurut Jujun Suriasumantri, penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir, penalaran memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu :
a. Proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu.
b. Sifat analitik dari proses bepikirnya. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio atau Fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham rasionalisme, sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
Menurut Glass dan Holyoak (Jacob, 1997,h.29) bahwa penalaran meliputi berbagai simpulan pengetahuan mutahir dan keyakinan. Penalaran, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan proses kognitif yang saling berhubungan. Pengambilan keputusan meliputi usaha untuk mencapai setiap variasi dari berbagai tipe tujuan. Dengan demikian, penalaran jelas meliputi pengambilan keputusan, sedangkan penalaran dan pengambilan keputusan diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Sehingga, pengambilan keputusan berarti menaksir dan memilih di antara beberapa alternatif yang tersedia.
Penalaran adalah bentuk khusus dari berpikir dalam upaya pengambilan inferensi dan konklusi yang digambarkan oleh premis. Setiap penalaran adalah berpikir, tetapi tidak semua berpikir adalah penalaran.
Menurut Galotti (1989) bahwa penalaran logis berarti mentransformasikan informasi yang diberikan untuk memperoleh suatu konklusi (Matlin, 1994, h. 379). Ada dua macam penalaran logis, yaitu: (1) penalaran kondisional, dan (2) penalaran silogistik (silogisme).
a. Penalaran kondisional.
Penalaran kondisional berhubungan dengan pernyataan/proposisi: “jika ..., maka ...” Bagian “jika ...” disebut anteseden. Antesden artinya proposisi yang dimunculkan lebih pertama. Sedangkan, bagian “maka ...” disebut konsekuen. Konsekuen artinya proposisi berikutnya. Di sini, pernyataan kondisional tidak menegaskan bahwa jika antesedennya benar atau konsekuennya benar adalah benar: hanya menyatakan bahwa antesedennya mengakibatkan konsekuennya. Pengertian esensial dari pernyataan kondisional adalah relasi dari implikasi yang ditetapkan untuk berperan antara anteseden dan konsekuennya dalam aturan. Untuk mengerti makna dari suatu pernyataan kondisional, maka kita harus mengerti apa implikasinya. Ada empat situasi penalaran kondisional yang dapat benar seperti berikut:
1) Mengesahkan anteseden: berarti bahwa bagian kalimat “jika ...” adalah benar. Bentuk penalaran ini menuju kepada konklusi valid atau konklusi benar.
2) Mengesahkan konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka ...” adalah benar. Bentuk penalaran ini menuju kepada konklusi invalid atau konklusi tidak benar.
3) Menyangkal anteseen: berarti bahwa bagian kalimat “jika ...” adalah salah. Menyangkal anteseden mengarah kepada konklusi invalid atau konklusi tidak benar.
4) Menyangkal konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka ...” adalah benar. Bentuk penalaran ini menuju kepada konklusi valid atau konklusibenar.
b. Penalaran silogistk (silogisme).
Silogisme (syllogism dilafalkan “sill-owe-jizz-um”) memuat dua premis, atau pernyataan yang harus kita asumsikan benar, ditambah suatu konklusi. Silogisme meliputi kuantitas, sehingga menggunakan kata - kata; semua, untuk setiap, ada, tak satupun, atau istilah - istilah sinonim lainnya. Dalam penalaran kondisional, pernyataan sering dinyatakan dengan huruf - huruf p dan q. Sedangkan, dalam silogisme menggunakan simbol – simbol tradisional A, B, dan C.
Contoh 1: Premis 1 : Ada A adalah B.
Premis 2 : Ada B adalah C.
Konklusi : Ada A adalah C.
Apabila kita ajukan pertanyaan untuk menyatakan apakah konklusi itu benar atau salah, maka mungkin kita akan berpikir sejenak, untuk menentukan “contoh nyata” manakah yang dapat menggantikan A, B, dan C sedemikian sehingga 3 konklusi itu menjadi benar. Perlu diingat bahwa, konklusi dari suatu silogisme hanya benar saja atau salah saja, namun kadang - kadang bisa saja tidak dapat mengatakannya benar atau salah. Dengan demikian, untuk Contoh 1 kita tidak dapat mengatakan benar atau salah.
2. Evidensi
Pada hakikatnya evidensi adalah semua fakta yang ada, semua kesaksian, semua informasi, atau autoritas yang di hubung-hubungkan untuk membuktikan suatu pembenaran. Fakta dalam kedudukan sebagai evidensi tidak boleh dicampur adukkan dengan apa yang dikenal sebagai pernyataan atau penegasan. Dalam argumentasi seorang penulis boleh mengandalkan argumentasinya pada pernyataan saja, bila ia menganggap pendengar sudah mengetahui fakta-faktanya.
Yang dimaksud dengan data atau informasi adalah bahan keterangan yang diperoleh dari suatu sumber tertentu (berupa statistik). Pada dasarnya semua data dan informasi harus diyakini dan diandalkan kebenarannya. Untuk itu penulis atau pembicara harus mengadakan pengujian atas data dan informasi tersebut, apakah sesuai fakta atau bukan.
Benarkah evidensi itu? Apakah tidak mungkin ada hal-hal yang dapat menggugurkan evidensi itu? Penulis atau arkeolog tadi harus mencari fakta-fakta lain agar kesimpulan tadi merupakan satu-satunya kesimpulan yang dapat diterima.
3. Inferensi
Inferensi merupakan intisari informasi baru yang bersifat implisit dan eksplisit dari informasi yang diberikan (Cummings, 1999). Proses inferensi terjadi ketika dalam proses yang dapat digunakan oleh lawan bicara untuk memperoleh implikatur-implikatur dari ujaran penutur yang dikombinasikan dengan ciri konteks pada dasarnya merupakan proses inferensi. Konteks implikatur diperoleh bukan diberikan tetapi diciptakan. Hal ini merupakan pernyataan utama teori relevansi. Cruse (2000) berkomentar bahwaa konteks yang benar untuk menginterpretasikan ujaran tidak diberikan sebelumnya, melainkan pendengar memilih konteks dengan sendirinya.
Inferensi terdiri dari tiga hal, yaitu inferensi deduktif, inferensi elaboratif, dan inferensi percakapan (Cummings, 1999). Lebih detail dijelaskan bahwa inferensi deduktif memiliki tiga tipe silogisme, yaitu ‘all’ dan ‘some’ baik afirmatif, maupun negatif. Inferensi deduktif memiliki kaitan dengan makna semantik. Implikatur percakapan, pra-anggapan, dan sejumlah konsep lain memuat kegiatan inferensi. inferensi dapat diperoleh dari kaidah deduktif logika dan dari makna semantik item leksikal. Inferensi menggunakan penalaran deduksi dalam kegiatan penalaran dan interpretasi ujaran. Inferensi elaboratif sangat terkait dengan pengetahuan ekstralinguistik penutur bahasa. Inferensi ini menemukan adanya pengaruh pengetahuan dan informasi kognisi. Pada tahun 1991, pakar inteligensi artifisial Johnson-Laird dan Byrne (dalam Cummings, 1999) merumuskan tahap deduksi dalam teori model-model mental adalah (a) premis dan pengetahuan umum, (b) pemahaman, (c) model, (d) deskripsi, (e) simpulan terduga, (f) validasi, dan (g) simpulan valid.
Inferensi elaboratif memiliki peran dalam interpretasi ujaran. Cummings (1999) menggambarkan adanya integrasi interpretasi ujaran dari tiga subkomponen yang berpa abstrak (pengetahuan dunia), abstrak (pengetahuan komunikatif), dan fungsional (interferensi elaboratif). Namun oleh ahli pragmatik, kajian terhadap kelompok-kelompok inferensi ini bisa saja diabaikan karena para pakar inferensi elaboratif sebagian besar dari kalangan psikologi. Pakar pragmatik mengabaikan inferensi elaboratif tersebut dengan alasan disipliner ilmu.
Jika ditinjau kembali cakupan bahasan pragmatik dari beberapa ahli, akan diperoleh gambaran yang lebih dalam lagi.. Hal ini penting untuk memperdalam wawasan untuk menanggapi polemik disipliner inferensi dalam kajian interpretasi pragmatik atau inferensi elaboratif antarpakar psikologi dan pragmatik. Akhirnya muncul perlawanan inferensial elaboratif dengan interpretasi pragmatik.
Berdasarkan pendapat Nadar (2008) terkait topik bahasan pragmatik menyebutkan bahwa Searle, Kiefer, dan Bierwich (1980) menyatakan pragmatik berkaitan interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dan cara menginterpretasi ungkapan tersebut tergantung pada kondisi-kondisi khusus penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks. Levinson (1983) berpendapat bahwa kajian pragmatik merupakan kajian hubungan bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodefikasi dalam struktur bahasa’. Sementara itu, Parker (1986) menyatakan bahwa pragmatik mengkaji tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Senada dengan Paker, Mey (1993) menyatakan bahwa kajian pragmatik tentang kondisi pengunaaan bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya. Terkait konteks, Wijana (1996) menyetujui pendapat ini dengan mengungkapkan bahwa pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks. Cruse (dalam Cumming, 1999) menyatakan pragmatik berkaitan dengan informasi, kode, konvensi, konteks, dan penggunaan.
Dalam percakapan menuntut hadirnya komponen tutur. Jhon L. Austin (1962) menyatakan ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam tuturan performatif, syarat itu disebut felicity conditions, yaitu (1) pelaku dan situasi harus sesuai, (2) tindakah dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua pelaku, dan (3) pelaku punya maksud yang sesuai. John R. Searle (1969) membagi tindak tutur ini ke dalam 3 jenis, yaitu (1) tindak lokusi, yaitu tindak untuk mengatakan sesuatu (the act of saying something), (2) tindak ilokusi, yaitu tindak melakukan sesuatu (the act of doing something), dan (3) tindak perlokusi, yaitu tindak membujuk seseorang (the act of persuading someone). Gumperz dan Hymes (1972) dan juga disebut Wardaugh (1986) membuat akronim SPEAKING (Setting, Participants, Ends, Act of sequence, Keys, Instrumentalities, Norm, dan Genres), yaitu tempat, peserta tutur, tujuan tutur, urutan tutur, cara, media, norma yang berlaku, dan genre. Poedjosoedarmo (1985) memaparkan memoteknik OOE MAU BICARA (Orang ke-1, Orang ke-2, warna Emosi orang ke-1, Maksud, Adanya orang ke-3, Urutan tutur, Bab yang dibicarakan, Instrumen atau sarana tutur, Citarasa tutur, Adegan tutur, Register, Aturan atau norma kebahasaan lain. Leech (1991) menyatakan aspek tutur selain konteks yang perlu diperhatikan adalah penutur, lawan tutur, tujuan tutur, tuturan sebagai tindakan dan produk verbal. Rahardi (2005) membahas lebih detail tentang kesantunan percakapan dalam bahasa Indonesia.
Inferensi percakapan dapat terjadi dalam tuturan/percakapan. Grice (1975) dalam artikel ‘Logic and Conversation’ menyatakan bahwa tuturan dapat berimplikasi proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut, atau disebut implikatur percakapan. Grice memandang bahwa proses yang digunakan untuk menemukan kembali implikatur dalam percakapan sangat kabur. Sperber & Wilson (1991) mengemukakan bahwa penjelasan Grice sendiri tentang proses derivasi (pemerolehan) agak luas. Untuk mengetahui implikatur percakapan harus diteliti meskipun dapat diahampi secara intuitif. Argumen merupakan manifestasi proses bawah sadar secara publik dapat digunakan pendengar untuk menemukan kembali implikatur percakapan.
Sumber :
http://dyanraspoenya.blogspot.com/2011/11/makalah-penalaran-balam-bahasa.html
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/194507161976031-CORNELIS_JACOB/ARTIKEL_PENHIB.pdf
http://www.scribd.com/doc/100121489/BAB-II
http://didin.lecture.ub.ac.id/pragmatik/inferensi
1. Penalaran
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan bahwa sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (entesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequense). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Menurut Jujun Suriasumantri, penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir, penalaran memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu :
a. Proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu.
b. Sifat analitik dari proses bepikirnya. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio atau Fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham rasionalisme, sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
Menurut Glass dan Holyoak (Jacob, 1997,h.29) bahwa penalaran meliputi berbagai simpulan pengetahuan mutahir dan keyakinan. Penalaran, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan proses kognitif yang saling berhubungan. Pengambilan keputusan meliputi usaha untuk mencapai setiap variasi dari berbagai tipe tujuan. Dengan demikian, penalaran jelas meliputi pengambilan keputusan, sedangkan penalaran dan pengambilan keputusan diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Sehingga, pengambilan keputusan berarti menaksir dan memilih di antara beberapa alternatif yang tersedia.
Penalaran adalah bentuk khusus dari berpikir dalam upaya pengambilan inferensi dan konklusi yang digambarkan oleh premis. Setiap penalaran adalah berpikir, tetapi tidak semua berpikir adalah penalaran.
Menurut Galotti (1989) bahwa penalaran logis berarti mentransformasikan informasi yang diberikan untuk memperoleh suatu konklusi (Matlin, 1994, h. 379). Ada dua macam penalaran logis, yaitu: (1) penalaran kondisional, dan (2) penalaran silogistik (silogisme).
a. Penalaran kondisional.
Penalaran kondisional berhubungan dengan pernyataan/proposisi: “jika ..., maka ...” Bagian “jika ...” disebut anteseden. Antesden artinya proposisi yang dimunculkan lebih pertama. Sedangkan, bagian “maka ...” disebut konsekuen. Konsekuen artinya proposisi berikutnya. Di sini, pernyataan kondisional tidak menegaskan bahwa jika antesedennya benar atau konsekuennya benar adalah benar: hanya menyatakan bahwa antesedennya mengakibatkan konsekuennya. Pengertian esensial dari pernyataan kondisional adalah relasi dari implikasi yang ditetapkan untuk berperan antara anteseden dan konsekuennya dalam aturan. Untuk mengerti makna dari suatu pernyataan kondisional, maka kita harus mengerti apa implikasinya. Ada empat situasi penalaran kondisional yang dapat benar seperti berikut:
1) Mengesahkan anteseden: berarti bahwa bagian kalimat “jika ...” adalah benar. Bentuk penalaran ini menuju kepada konklusi valid atau konklusi benar.
2) Mengesahkan konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka ...” adalah benar. Bentuk penalaran ini menuju kepada konklusi invalid atau konklusi tidak benar.
3) Menyangkal anteseen: berarti bahwa bagian kalimat “jika ...” adalah salah. Menyangkal anteseden mengarah kepada konklusi invalid atau konklusi tidak benar.
4) Menyangkal konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka ...” adalah benar. Bentuk penalaran ini menuju kepada konklusi valid atau konklusibenar.
b. Penalaran silogistk (silogisme).
Silogisme (syllogism dilafalkan “sill-owe-jizz-um”) memuat dua premis, atau pernyataan yang harus kita asumsikan benar, ditambah suatu konklusi. Silogisme meliputi kuantitas, sehingga menggunakan kata - kata; semua, untuk setiap, ada, tak satupun, atau istilah - istilah sinonim lainnya. Dalam penalaran kondisional, pernyataan sering dinyatakan dengan huruf - huruf p dan q. Sedangkan, dalam silogisme menggunakan simbol – simbol tradisional A, B, dan C.
Contoh 1: Premis 1 : Ada A adalah B.
Premis 2 : Ada B adalah C.
Konklusi : Ada A adalah C.
Apabila kita ajukan pertanyaan untuk menyatakan apakah konklusi itu benar atau salah, maka mungkin kita akan berpikir sejenak, untuk menentukan “contoh nyata” manakah yang dapat menggantikan A, B, dan C sedemikian sehingga 3 konklusi itu menjadi benar. Perlu diingat bahwa, konklusi dari suatu silogisme hanya benar saja atau salah saja, namun kadang - kadang bisa saja tidak dapat mengatakannya benar atau salah. Dengan demikian, untuk Contoh 1 kita tidak dapat mengatakan benar atau salah.
2. Evidensi
Pada hakikatnya evidensi adalah semua fakta yang ada, semua kesaksian, semua informasi, atau autoritas yang di hubung-hubungkan untuk membuktikan suatu pembenaran. Fakta dalam kedudukan sebagai evidensi tidak boleh dicampur adukkan dengan apa yang dikenal sebagai pernyataan atau penegasan. Dalam argumentasi seorang penulis boleh mengandalkan argumentasinya pada pernyataan saja, bila ia menganggap pendengar sudah mengetahui fakta-faktanya.
Yang dimaksud dengan data atau informasi adalah bahan keterangan yang diperoleh dari suatu sumber tertentu (berupa statistik). Pada dasarnya semua data dan informasi harus diyakini dan diandalkan kebenarannya. Untuk itu penulis atau pembicara harus mengadakan pengujian atas data dan informasi tersebut, apakah sesuai fakta atau bukan.
Benarkah evidensi itu? Apakah tidak mungkin ada hal-hal yang dapat menggugurkan evidensi itu? Penulis atau arkeolog tadi harus mencari fakta-fakta lain agar kesimpulan tadi merupakan satu-satunya kesimpulan yang dapat diterima.
3. Inferensi
Inferensi merupakan intisari informasi baru yang bersifat implisit dan eksplisit dari informasi yang diberikan (Cummings, 1999). Proses inferensi terjadi ketika dalam proses yang dapat digunakan oleh lawan bicara untuk memperoleh implikatur-implikatur dari ujaran penutur yang dikombinasikan dengan ciri konteks pada dasarnya merupakan proses inferensi. Konteks implikatur diperoleh bukan diberikan tetapi diciptakan. Hal ini merupakan pernyataan utama teori relevansi. Cruse (2000) berkomentar bahwaa konteks yang benar untuk menginterpretasikan ujaran tidak diberikan sebelumnya, melainkan pendengar memilih konteks dengan sendirinya.
Inferensi terdiri dari tiga hal, yaitu inferensi deduktif, inferensi elaboratif, dan inferensi percakapan (Cummings, 1999). Lebih detail dijelaskan bahwa inferensi deduktif memiliki tiga tipe silogisme, yaitu ‘all’ dan ‘some’ baik afirmatif, maupun negatif. Inferensi deduktif memiliki kaitan dengan makna semantik. Implikatur percakapan, pra-anggapan, dan sejumlah konsep lain memuat kegiatan inferensi. inferensi dapat diperoleh dari kaidah deduktif logika dan dari makna semantik item leksikal. Inferensi menggunakan penalaran deduksi dalam kegiatan penalaran dan interpretasi ujaran. Inferensi elaboratif sangat terkait dengan pengetahuan ekstralinguistik penutur bahasa. Inferensi ini menemukan adanya pengaruh pengetahuan dan informasi kognisi. Pada tahun 1991, pakar inteligensi artifisial Johnson-Laird dan Byrne (dalam Cummings, 1999) merumuskan tahap deduksi dalam teori model-model mental adalah (a) premis dan pengetahuan umum, (b) pemahaman, (c) model, (d) deskripsi, (e) simpulan terduga, (f) validasi, dan (g) simpulan valid.
Inferensi elaboratif memiliki peran dalam interpretasi ujaran. Cummings (1999) menggambarkan adanya integrasi interpretasi ujaran dari tiga subkomponen yang berpa abstrak (pengetahuan dunia), abstrak (pengetahuan komunikatif), dan fungsional (interferensi elaboratif). Namun oleh ahli pragmatik, kajian terhadap kelompok-kelompok inferensi ini bisa saja diabaikan karena para pakar inferensi elaboratif sebagian besar dari kalangan psikologi. Pakar pragmatik mengabaikan inferensi elaboratif tersebut dengan alasan disipliner ilmu.
Jika ditinjau kembali cakupan bahasan pragmatik dari beberapa ahli, akan diperoleh gambaran yang lebih dalam lagi.. Hal ini penting untuk memperdalam wawasan untuk menanggapi polemik disipliner inferensi dalam kajian interpretasi pragmatik atau inferensi elaboratif antarpakar psikologi dan pragmatik. Akhirnya muncul perlawanan inferensial elaboratif dengan interpretasi pragmatik.
Berdasarkan pendapat Nadar (2008) terkait topik bahasan pragmatik menyebutkan bahwa Searle, Kiefer, dan Bierwich (1980) menyatakan pragmatik berkaitan interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dan cara menginterpretasi ungkapan tersebut tergantung pada kondisi-kondisi khusus penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks. Levinson (1983) berpendapat bahwa kajian pragmatik merupakan kajian hubungan bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodefikasi dalam struktur bahasa’. Sementara itu, Parker (1986) menyatakan bahwa pragmatik mengkaji tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Senada dengan Paker, Mey (1993) menyatakan bahwa kajian pragmatik tentang kondisi pengunaaan bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya. Terkait konteks, Wijana (1996) menyetujui pendapat ini dengan mengungkapkan bahwa pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks. Cruse (dalam Cumming, 1999) menyatakan pragmatik berkaitan dengan informasi, kode, konvensi, konteks, dan penggunaan.
Dalam percakapan menuntut hadirnya komponen tutur. Jhon L. Austin (1962) menyatakan ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam tuturan performatif, syarat itu disebut felicity conditions, yaitu (1) pelaku dan situasi harus sesuai, (2) tindakah dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua pelaku, dan (3) pelaku punya maksud yang sesuai. John R. Searle (1969) membagi tindak tutur ini ke dalam 3 jenis, yaitu (1) tindak lokusi, yaitu tindak untuk mengatakan sesuatu (the act of saying something), (2) tindak ilokusi, yaitu tindak melakukan sesuatu (the act of doing something), dan (3) tindak perlokusi, yaitu tindak membujuk seseorang (the act of persuading someone). Gumperz dan Hymes (1972) dan juga disebut Wardaugh (1986) membuat akronim SPEAKING (Setting, Participants, Ends, Act of sequence, Keys, Instrumentalities, Norm, dan Genres), yaitu tempat, peserta tutur, tujuan tutur, urutan tutur, cara, media, norma yang berlaku, dan genre. Poedjosoedarmo (1985) memaparkan memoteknik OOE MAU BICARA (Orang ke-1, Orang ke-2, warna Emosi orang ke-1, Maksud, Adanya orang ke-3, Urutan tutur, Bab yang dibicarakan, Instrumen atau sarana tutur, Citarasa tutur, Adegan tutur, Register, Aturan atau norma kebahasaan lain. Leech (1991) menyatakan aspek tutur selain konteks yang perlu diperhatikan adalah penutur, lawan tutur, tujuan tutur, tuturan sebagai tindakan dan produk verbal. Rahardi (2005) membahas lebih detail tentang kesantunan percakapan dalam bahasa Indonesia.
Inferensi percakapan dapat terjadi dalam tuturan/percakapan. Grice (1975) dalam artikel ‘Logic and Conversation’ menyatakan bahwa tuturan dapat berimplikasi proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut, atau disebut implikatur percakapan. Grice memandang bahwa proses yang digunakan untuk menemukan kembali implikatur dalam percakapan sangat kabur. Sperber & Wilson (1991) mengemukakan bahwa penjelasan Grice sendiri tentang proses derivasi (pemerolehan) agak luas. Untuk mengetahui implikatur percakapan harus diteliti meskipun dapat diahampi secara intuitif. Argumen merupakan manifestasi proses bawah sadar secara publik dapat digunakan pendengar untuk menemukan kembali implikatur percakapan.
Sumber :
http://dyanraspoenya.blogspot.com/2011/11/makalah-penalaran-balam-bahasa.html
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/194507161976031-CORNELIS_JACOB/ARTIKEL_PENHIB.pdf
http://www.scribd.com/doc/100121489/BAB-II
http://didin.lecture.ub.ac.id/pragmatik/inferensi